TENTANG IPKJI NAD

Foto saya
lahir di Sawang - Aceh Utara Pada Tahun 1985 yang kemudian menempuh pendidikan di salah satu akademi keperawatan di Banda Aceh, dan alhamdulillah lulus dengan predikat baik.kemudian saya bekerja sebagai tenaga honerer di puskesmas tempat saya berasal sebelum saya dipanggil untuk bekerja di salah satu Rumah Sakit swasta yang katanya berstandar internasional yang ada di Banda Aceh. Atas dasar pengamatan, saya berfikir perlu untukmembuat blog ini karna tidak semua perawat sekarang dalam keadaan kecukupan baik dalam hal pendapatan, tuntutan kerja yang berat serta pinalti yang kadang-kadang harus diterima perawat walaupun bukan atas dasar kesalahannya.

Rabu, September 10, 2008

F0RUM KOMUNIKASI ANGGOTA PEDULI KESEHATAN JIWA (FORKAP KESWA) ACEH BESAR

Latar Belakang
Permasalahan kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar sebagaimana masalah kesehatan lainnya. Survey kesehatan rumah tangga tahun 1995 mendapatkan fakta bahwa ; satu dari 5 orang di Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa DEPKES Tahun 2002 mendapatkan data bahwa satu dari 2 orang yang berobat di Pelayanan Kesehatan Dasar di Provinsi NAD mengalami gangguan kesehatan jiwa dalam berbagai jenis dari spectrum yang paling ringan sampai yang paling berat. Studi Bank dunia 1965 di beberapa negara mendapatkan fakta bahwa : Waktu produktif yang hilang atau Dyssability Ajusted Life Years (DALY’S) yang disebabkan gangguan kesehatan jiwa (8,1 %). Angka tersebut lebih tinggi dari dampak yang disebabkan oleh penyakit tuberculosis (7,2 %), kanker (5,8 %), penyakit jantung (4,4 %), malaria (2,6 %).
Ada masalah yang perlu dipikirkan oleh pemerintah dan oleh kita bersama untuk dapat membantu meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa di Provinsi NAD. Ada lebih kurang 2 per mil penduduk di Provinsi NAD yang mengalami gangguan psikotik yang memerlukan penanganan kuratif dan rehabilitatif. Gangguan tersebut bersifat kronik progresif bila tidak ditangani secara berkelanjutan. Mereka akan menjadi kelompok masyarakat yang tidak produktif dan tidak efisien. Sebagian mereka (20 % nya) merupakan penghuni Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh oleh karena demikian Regresif kualitas kehidupannya dan membutuhkan penanganan medis jangka panjang.
Namun demikian sebagian mereka (60 %) akan mempunyai prognosis yang baik bila ditangani melalui program Rehabilitasi mental, vokasional, sosial setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa. Kita telah mempunyai Community Mental Health Nurse atau Perawat Kesehatan Jiwa Masyarakat di setiap pelayanan kesehatan dasar atau puskesmas di seluruh wilayah NAD. Namun tidak cukup kiranya upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Community Mental Health Nurse system tersebut karena sebagian mantan pasien menyandang masalah sosial; tidak ada keluarga lagi, tidak ada siapa-siapa lagi dan tidak ada apa-apa lagi atau dhuafa.
Konsekuensi dari meningkatnya kasus gangguan jiwa di NAD juga dirasakan oleh Rumah sakit Jiwa Prov. NAD yang merupakan satu-satunya rujukan tertinggi penanganan kasus-kasus gangguan jiwa di Provinsi NAD. RSJ Prov. NAD menjadi over capasity dari kapasitan tempat tidur 240 tempat tidur harus menampung sampai ± 350 pasien dengan Bed Occupation Rate (BOR) sekitar 140 %. Kondisi ini membutuhkan perhatiann dari semua pihak terkait sehingga penanganannya bersifat komprehensif
Berbagai kegiatan telah dan akan dilaksanakan dalam penanganan kesehatan jiwa di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam rangka penanganan dan menurunkan angka gangguan jiwa di NAD pasca Bencana Gempa dan Tsunami serta pasca konflik yang berkepanjangan. Kegiatan tersebut ada yang bersifat promotif dari tenaga kesehatan, penambahan kapasitas pemahaman tentang gangguan jiwa dan penanganannya serta pelibatan langsung komponen-komponen yang berhubungan dengan kasus gangguan jiwa.
WHO Tahun 2001 telah merekomendasikan sebuah deklarasi yang perlu dilaksanakan guna peningkatan kesehatan jiwa diantaranya : Bagaimana keterlibatan peran serta masyarakat, keluarga dan mantan penderita gangguan jiwa sendiri dalam berbagai bentuk kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sebaik-baiknya. Bagaimana pengaturan dan penatalaksanaan dalam system kebijakan agar dapat memberi kemudahan hak dan peranan yang sepadan pada mantan pasien gangguan jiwa.
Rumah Sakit Jiwa Jiwa Provinsi NAD dan CBM International telah melaksanakan kegiatan Seminar Sehari Peningkatan Kualitas Hidup Mantan Pasien Gangguan Jiwa. Dalam rangka pendoku-mentasian, evaluasi serta perencanaan untuk masa yang akan datang, maka disusunlah suatu Forum komunikasi anggota peduli kesehatan jiwa yang disingkat dengan nama FORKAP KESWA. Tujuan terbentuknya FOR KAP KESWA ini adalah

  • Menghilangkan stigma masyarakat dan keluarga tentang pasien gangguan jwa di Prov. NAD melalui FORKAP KESWA
  • Memberikan gambaran bahwa mantan pasien bangguan jiwa masih bisa produktif dgn usaha-usaha seperti pendamping dari kelurga .
  • Melibatkan secara langsung keluarga unsur-unsur yang peduli terhadap kesehatan jiwa sehingga terbentuk suatu wadah berupa forum komunikasi.

FORKAP KESWA mulai di rintis pada tanggal 18 maret 2008 di Aceh Community Centre (ACC) dan mulai terbentuk patanggal 26 Maret 2008 di Aula Cut Nyak Dhien Rumah Sakit Jiwa Prov. NAD. Banda Aceh Dengan Penasehat : Bapak Drs. H. Abdussalam Ahmad, Dr. Syahrial, SpKj, Dr. Emir Abdullah, Sp.Kj Ketua Umum : Evi Marlina, Ketua I : M.Yusuf Ibrahim, Ketua II: H.M.Khaidir, AS, Sekretaris Umum : Nismaita, Sekretaris I : Evi Ratna Juwita, Sekretaris II : M. Ilyas, S.Pd, Bendahara : Mahdalena dan dengan anggota 14 orang.
Kentungan FORKAP KESWA

  • Sarana untuk mendapatkan informasi atau wawasan tentang gangguan jiwa
  • Dapat mendukung proses penyembuhan pasien dengan segala upaya yang dilakukan oleh organisasi.
  • Sebagai tempat sharing pengalaman antar anggota forum.
  • Adanya pengawasan orang sakit secara berkala

Kamis, September 04, 2008

Gangguan Jiwa di Sekitar Kita

Editorial MediaIndonesia: Minggu, 24 Agustus 2008 00:01 WIB

SATU dari empat penduduk Indonesia mengidap penyakit jiwa. Perkiraan yang mengejutkan itu baru-baru ini dirilis pendiri Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa Indonesia Pandu Setiawan.
Perkiraan yang memprihatinkan sekaligus mengerikan. Memprihatinkan, karena selain persoalan-persoalan kasatmata, negeri ini juga dicengkeram problema berdimensi nonfisik. Mengerikan, karena bobot masalah yang ditanggung anak bangsa ini rupanya semakin lama semakin tidak terperikan.
Adalah mengenaskan menyadari betapa di sekitar kita, di sekeliling kita, berlalu lalang orang-orang yang secara kejiwaan tidak sehat. Juga mengejutkan karena di antara empat orang yang tengah berkumpul, berbincang, satu di antaranya mungkin adalah penderita gangguan jiwa.
Sesulit apa pun menerima perkiraan tersebut, data yang dilansir sebelumnya oleh lembaga berbeda, menunjukkan betapa semua yang memprihatinkan itu bukan tanpa dasar.
Pada 2006, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa.
Yang kita khawatirkan adalah bila pertumbuhan angka sakit jiwa ini tidak terkendali.
Kekhawatiran ini semakin masuk akal, mengingat di sana-sini muncul fenomena menyimpang lainnya yang mendukung secara empiris.
Bukankah kriminalitas meningkat, baik kuantitatif maupun kualitatif? Bukankah anomali individual dan sosial juga mulai diterima sebagai kelaziman? Bukankah kelainan seksual, perceraian, dan berbagai perilaku menyimpang yang dahulu ditolak, kini semakin diterima dalam masyarakat? Dan bukankah keresahan, kecemasan, kekhawatiran, dan ketidaktenangan semakin berkembang dalammasyarakat?
Pertanyaan-pertanyaan itu cenderung menjadi pertanyaan-pertanyaan retoris.
Pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena semua jawabannya cenderung adalah ya.
Harus dikatakan, di tengah masyarakat berkembang situasi yang menjadi persemaian yang subur bagi tumbuhnya gangguan jiwa. Gejala itu harus dicermati dengan urgensi yang tinggi karena pasien yang masuk sejumlah rumah sakit jiwa terus meningkat. Padahal, dapat dipastikan tidak semua orang sakit jiwa masuk rumah sakit jiwa, sehingga jumlah orang sakit jiwa kiranya jauh lebih banyak daripada angka resmi pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberi perhatian yang lebih besar kepada aspek kesehatan jiwa anak bangsa.
Meskipun sudah banyak kesulitan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tidak berarti pemerintah boleh melupakan aspek pemerataan dan keadilan. Karena di sana bermain faktor-faktor yang sangat memengaruhi tingkat kesejahteraan nonfisik, akar dari semua penyebab gangguan jiwa.
Meskipun kian tidak mudah, individu dalam masyarakat pun harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan beradaptasi dengan tekanan hidup yang semakin lama semakin menghimpit. Karena di sanalah terjadi pertarungan sengit demi mempertahankan kesehatan jasmani maupun rohani, fisiologis maupun psikologis.
Sakit jiwa adalah persoalan sangat berat. Apalagi bila ia telah menimpa 25% dari anggota masyarakat. Ini tidak mungkin dibiarkan dan diabaikan, kecuali bila 75% sisanya pun telah ikut menjadi sakit.