TENTANG IPKJI NAD

Foto saya
lahir di Sawang - Aceh Utara Pada Tahun 1985 yang kemudian menempuh pendidikan di salah satu akademi keperawatan di Banda Aceh, dan alhamdulillah lulus dengan predikat baik.kemudian saya bekerja sebagai tenaga honerer di puskesmas tempat saya berasal sebelum saya dipanggil untuk bekerja di salah satu Rumah Sakit swasta yang katanya berstandar internasional yang ada di Banda Aceh. Atas dasar pengamatan, saya berfikir perlu untukmembuat blog ini karna tidak semua perawat sekarang dalam keadaan kecukupan baik dalam hal pendapatan, tuntutan kerja yang berat serta pinalti yang kadang-kadang harus diterima perawat walaupun bukan atas dasar kesalahannya.

Kamis, September 04, 2008

Gangguan Jiwa di Sekitar Kita

Editorial MediaIndonesia: Minggu, 24 Agustus 2008 00:01 WIB

SATU dari empat penduduk Indonesia mengidap penyakit jiwa. Perkiraan yang mengejutkan itu baru-baru ini dirilis pendiri Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa Indonesia Pandu Setiawan.
Perkiraan yang memprihatinkan sekaligus mengerikan. Memprihatinkan, karena selain persoalan-persoalan kasatmata, negeri ini juga dicengkeram problema berdimensi nonfisik. Mengerikan, karena bobot masalah yang ditanggung anak bangsa ini rupanya semakin lama semakin tidak terperikan.
Adalah mengenaskan menyadari betapa di sekitar kita, di sekeliling kita, berlalu lalang orang-orang yang secara kejiwaan tidak sehat. Juga mengejutkan karena di antara empat orang yang tengah berkumpul, berbincang, satu di antaranya mungkin adalah penderita gangguan jiwa.
Sesulit apa pun menerima perkiraan tersebut, data yang dilansir sebelumnya oleh lembaga berbeda, menunjukkan betapa semua yang memprihatinkan itu bukan tanpa dasar.
Pada 2006, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa.
Yang kita khawatirkan adalah bila pertumbuhan angka sakit jiwa ini tidak terkendali.
Kekhawatiran ini semakin masuk akal, mengingat di sana-sini muncul fenomena menyimpang lainnya yang mendukung secara empiris.
Bukankah kriminalitas meningkat, baik kuantitatif maupun kualitatif? Bukankah anomali individual dan sosial juga mulai diterima sebagai kelaziman? Bukankah kelainan seksual, perceraian, dan berbagai perilaku menyimpang yang dahulu ditolak, kini semakin diterima dalam masyarakat? Dan bukankah keresahan, kecemasan, kekhawatiran, dan ketidaktenangan semakin berkembang dalammasyarakat?
Pertanyaan-pertanyaan itu cenderung menjadi pertanyaan-pertanyaan retoris.
Pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena semua jawabannya cenderung adalah ya.
Harus dikatakan, di tengah masyarakat berkembang situasi yang menjadi persemaian yang subur bagi tumbuhnya gangguan jiwa. Gejala itu harus dicermati dengan urgensi yang tinggi karena pasien yang masuk sejumlah rumah sakit jiwa terus meningkat. Padahal, dapat dipastikan tidak semua orang sakit jiwa masuk rumah sakit jiwa, sehingga jumlah orang sakit jiwa kiranya jauh lebih banyak daripada angka resmi pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberi perhatian yang lebih besar kepada aspek kesehatan jiwa anak bangsa.
Meskipun sudah banyak kesulitan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tidak berarti pemerintah boleh melupakan aspek pemerataan dan keadilan. Karena di sana bermain faktor-faktor yang sangat memengaruhi tingkat kesejahteraan nonfisik, akar dari semua penyebab gangguan jiwa.
Meskipun kian tidak mudah, individu dalam masyarakat pun harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan beradaptasi dengan tekanan hidup yang semakin lama semakin menghimpit. Karena di sanalah terjadi pertarungan sengit demi mempertahankan kesehatan jasmani maupun rohani, fisiologis maupun psikologis.
Sakit jiwa adalah persoalan sangat berat. Apalagi bila ia telah menimpa 25% dari anggota masyarakat. Ini tidak mungkin dibiarkan dan diabaikan, kecuali bila 75% sisanya pun telah ikut menjadi sakit.

Tidak ada komentar: